Rich yet Blind

Minggu lalu, ada banyak seminar diadakan dalam satu hari di kampus.

Kali ini, saya memilih judul seminar yang cukup menarik perhatian.

“Produk Indonesia yang Disukai Luar Negeri”

Oke, kita semua tahu jika Indonesia, dari segi nature, memang diberkahi kekayaan.

Mulai dari tanah, tanaman, ragam hewan, sampai budaya.

Gambar

Kupikir, pengetahuan mengenai alam Indonesia memang tidak pernah ada habisnya.

Di sini, aku yang cukup sering mencari tahu mengenai kekayaan Indonesia, tetap saja kaget dengan banyaknya produk dalam negeri yang diutarakan dalam seminar.

Ada minyak atsiri/essential oil.

Minyak atsiri merupakan minyak dari tanaman yang bagian dari tanaman tersebut mudah sekali menguap, karena itu ada yang menyebutnya sebagai minyak terbang.

(Lol)

Gambar

Dengan kondisi yang mirip Ether, minyak atsiri juga dijadikan esens dalam pewangi.

Minyak atsiri bukan lemak lho! Tanamannya jauh berbeda.

Indonesia yang kaya akan tumbuh-tumbuhan, diminati masyarakat dunia karena minyak atsiri ini.

Bagaimana tidak, tumbuhan-tumbuhan tersebut kadang hanya tumbuh dengan baik di Indonesia saja.

Jelas, Indonesia menjadi pusat perhatian dunia mengenai hal ini.

Tidak hanya minyak atsiri saja, Indonesia kaya akan alam.

Tanaman obat, kopi luak, kerajinan tangan, dan sebagainya.

Selain alam, Indonesia juga memproduksi berbagai brand yang kadang sampai disalahartikan sebagai Brand luar.

Contohnya, celana jins Lea. Tahu kan?

Sepeda Polygon, JCO donuts, Excelso, CFC, Breadtalk, sampai Buccheri, semuanya sebenarnya adalah Brand Indonesia.

Belum cukup kaget?

Tahu NATO?

Seragam para tentara itu dibuat di Indonesia lho!

Barbie, Air Bridge, sampai Radio Magno (Radio dari kayu) merupakan barang produksi Indonesia.

… Sayangnya, penghuni ‘Indonesia’ cukup dibutakan oleh hal-hal lain.

Mereka lebih memilih brand luar negeri, padahal sebenarnya Indonesia juga punya, dengan kualitas yang sama baiknya.

Menghambur-hamburkan uang yang seharusnya dapat dimanfaatkan hal lain,

hanya untuk mempertebal kantong warga negara asing.

Sedangkan di sini, bahkan sebutir nasi rasanya sulit dibagikan merata ke pelosok negeri.

Tapi kita buta.

Generasi sekarang sudah menjadi ‘buta’ oleh brand.

Masyarakat Indonesia sekarang lebih dikenal sebagai masyarakat konsumtif.

Menjadi santapan empuk bagi pasar dunia.

Indonesia, Indonesia.

Kapan generasi mudamu membuka matanya?

Kapan mereka mengembalikan nama Indonesia sebagai negara produktif?

Kita memang kaya, tapi penghuninya buta.

Buta?

Atau sengaja menutup mata?

Logical Frame Analysis on Life; Could I?

Gambar

 

Logframe.

Atau dalam pengertian sebenarnya, Logical Frame Analysis.

Hal itulah yang kami pelajari di kelas Sosial entrepreneur usai libur lebaran yang cukup membuat mahasiswa-mahasiswa sepertiku terbawa arus malas.

Tapi sebagai materi yang mengawali kelas Sosial entrepreneurship, Logframe merupakan jawaban yang tepat. Setidaknya untukku.

 

Seperti ulasan yang dijelaskan dalam komik singkat di atas, Logframe digunakan untuk memperjelas tujuan dari sebuah gerakan atau aktivitas.

 

Segalanya dimulai dari Goal.

 

Berbeda dengan arti ‘tujuan’ yang biasa kita gunakan, Goal lebih mengarah pada mimpi besar yang ingin kita wujudkan.

 

Ya. Mimpi besar.

 

Bill Gates, mecontohkannya dengan apik.

Saat Microsoft berdiri, komputer hanyalah alat hitung besar dan dinilai masih perlu perkembangan lebih banyak lagi.

Tapi saat itu, ‘mimpi’ Bill Gates sudah mengalahkan keraguan tersebut.

 

“One Computer in Every Home,”

 

Saat itu, sounds sooo ridiculous.

 

But take a look now.

 

Jelas, ‘mimpi’ harus berdasarkan latar belakang yang jelas.

Kejelasan terebut semakin meruncingkan ‘mimpi’ yang ingin dicapai.

 

Kemudian, menuangkan ‘mimpi’ itu pada ‘tujuan’ yang konkrit merupakan step selanjutnya dalam membuat sebuah logframe. Ditambah dengan pemikiran S.M.A.R.T. saat membuatnya, Logframe jadilah sudah.

 

Di tengah-tengah kelas, aku sempat terpikir untuk membuat sebuah logframe tujuan hidupku.

 

Kemudian, ketika ingin menulis di blog ini, ditemani sepotong lagu dari Ninomiya Kazunari, “Doko ni Demo Aru Uta” yang sangat cocok dengan suasananya, aku meresapi kembali.

 

Apa, mimpiku?

 

Berpikir dan berpikir lagi.

Membaca beberapa buku harian jaman SMA, membuka postingan blog yang lama.

Tapi aku masih belum bisa memikirkan apa mimpiku.

 

Fasilitatorku menyebutkan bahwa tujuan ini harus berasal dari ‘Input’ yang jelas.

Tidak mengarang dan mengada-ada.

 

Masalah apa yang kualami sehingga aku harus punya mimpi?

Masalah?

Seperti apa?

Sebesar apa?

Segenting apa?

 

Bagaimana caranya untuk memulai membuat Logframe apabila ‘mimpi’ saja aku masih belum menggenggamnya?

 

Aku sampai iri pada tokoh utama komik “Bakuman Manga”.

 

Mimpi mereka jelas. Mereka punya logframe yang detail dan konkrit.

Mereka tidak berkompromi bahkan kepada diri mereka sendiri.

 

Bagaimana caranya menggenggam ‘mimpi’mu?

2 Years Left

Jujur saja.

Kelas Sosial Entrepreneur di awal semester 5 ini membuatku kaget, kecewa, senang,  cemas, sekaligus tertantang.

Ya, yang bisa membuat perasaan gado-gado itu adalah tema : MDGs.

Gambar

Dengan bodohnya ya, aku baru tahu apa itu MDGs. Aku baru tahu istilah itu.

(…eh? Jangan bilang kalian juga baru tahu.)

MDGs adalah singkatan dari Millenium Development Goals. Intinya, MDGs merupakan impian dari negara-negara yang masih mampu berpikir jernih di bawah naungan PBB untuk menyayangi dunia yang kita tinggali bersama ini.

 

Ada 8 hal yang dibahas dalam MDGs. 

Gambar

Aku kaget. Jelas.

Ternyata ADA gerakan nyata dari PBB dan negara-negara lain di dunia, dalam satu tujuan yang sama, untuk memperbaiki Dunia. 

Aku kecewa.

Kenapa aku baru tahu SEKARANG? Ketika MDGs itu harus sudah terpenuhi dalam 2 tahun lagi? Apa yang sudah aku lakukan untuk memperbaiki Dunia dalam 13 tahun lalu?

Atau bahkan, apakah aku PERNAH memikirkan Dunia, di atas semua pemikiran tentangku dan delusiku?

Aku senang.

Aku TAHU. dan lebih banyak lagi orang di luar sana yang TAHU dan SUDAH BERGERAK memenuhinya.

Aku ingin turut berpartisipasi. JELAS. Siapa orang naif dan hipokrit yang tidak mau melakukannya karena alasan “sudah banyak yang melakukannya” atau “Yang kulakukan tidak akan berpengaruh apa-apa pada dunia”?

 

C’monEverybody leaves ripples.

 

Dan buatku juga, ini untuk kepuasan. Entah ya, sebagian orang menyebutnya jiwa sosial, sebagian lagi menyebutnya sebagai rasa iba. Bagiku, perasaan ingin membantu dunia ini adalah sisi humanity-ku.

 

Kemudian, begitu melihat tugas dan harapan dosen kepada kami yang ada di kelas, muncul kecemasan.

Wajar, tugasnya memang cukup banyak dengan target yang bukan main-main.

Tapi di sisi lain, aku merasa tertantang.

Selama penjelasan, aku langsung berpikir,

program apa yang visible dan sustainable dikerjakan?

Bagaimana caranya mensosialisasikan program ini melalui media massa?

Organisasi mana yang bisa diajak kerja sama?

 

I have to. I will do it. I DID.

Atau aku tidak akan menggoreskan apapun dalam sejarah MDGs ini.

 

datte… just 2 years left. Quick, you too!